Bismillâhirrahmânirrahîm
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini – dengan izin Allah – laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i), (yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.
Sebelum segala sesuatu dimulai, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan himpunan segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap Muslim, khususnya bagi setiap dai. Takwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap Muslim.
Segala puji bagi Allah Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini – dengan izin Allah – laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i), (yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.
Sebelum segala sesuatu dimulai, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan himpunan segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap Muslim, khususnya bagi setiap dai. Takwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap Muslim.
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ
وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ
الزَّادِ التَّقْوَى
وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal”. [al-Baqarah/2:197].
Takwa merupakan sebab pertama
di antara faktor dimudahkannya rezeki. Barangsiapa menghendaki keluasan rezeki
yang baik, berupa harta benda, ilmu, isteri shalihah, anak-anak shalih, taufiq,
ataupun kebahagiaan dunia dan akhirat yang semua ini merupakan rezeki, akan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan rezeki-rezeki ini, jika ia bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
مَنْ
يَتَّقِ اللهَ يَجْعَـلْ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ
فَرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ
لاَ يَحْتَسِبْ
“Barangsiapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah membuatkan baginya jalan keluar dari segala kesulitan,
kelapangan, dari segala kesedihan, dan Allah akan menganugerahkan rezeki
kepadanya dari arah yang tidak ia duga”.[1]
Jadi, takwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala merupakan pondasi bagi kehidupan ini. Namun, takwa kepada
Allah bukanlah kalimat yang hanya sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan
perkara yang ada di dalam hati. Setiap Muslim, bahkan setiap penuntut ilmu,
wajib menghiasi diri dengan takwa dalam semua urusan hidupnya. Sebab takwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benteng bagi seorang Muslim dari segala
perkara yang mengotorinya dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana telah kita
baca dalam Al-Qur`an surah al-Ahzâb:
(70) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا
سَدِيدًا
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ (71)ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya
Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. [al-Ahzâb /33:70-71].
Seorang penuntut ilmu, jika ia
pertama kali dapat mewujudkan takwa pada dirinya serta dapat memeganginya
dengan teguh dalam semua sisi kehidupannya, niscaya –dengan idzin Allah- ia
akan dapat mewujudkan takwa ini pada diri orang lain.
Akan tetapi amat disayangkan,
sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa, namun ia sendiri
mengabaikan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia mengajak orang lain
untuk bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan
orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan
kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia
tekankan kepada orang lain.
Hal paling penting lainnya
dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah bahwasanya harus ada
hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah
diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap
kawan (shadîq), setiap muslim akan memiliki pengaruh jelas bagi kawannya dalam
hidup. Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini
akan berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang
tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tidak juga dekat dengan (ajaran) Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka hal-hal buruk ini pun akan berpengaruh pada dirinya.
Maka, perhatikanlah oleh seseorang, siapa yang akan ia jadikan kawan dekatnya.
Ukhuwah Islamiyah yang hakiki
diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga Al-Qur`an pun
memerintahkannya. (Allah berfirman:)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah ikhwah (bersaudara); karena itu, damaikanlah antara kedua
saudaramu”. [al-Hujurat/49:10].
Kata “ikhwah” (bersaudara),
ketika kita mengatakan “sesungguhnya orang-orang mukmin itu ikhwah (bersaudara)”,
adalah kalimat yang tidak mudah. Maksudnya, seakan-akan Anda dalam hubungan
(persaudaraan antar mukmin) ini mempunyai pertalian yang sangat erat. Hubungan
persaudaraan ini bisa lebih kuat dari persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang
mengikat persaudaraan ini? Yang mengikatnya, ialah dinul-Islam yang hakiki,
ukhuwah Islamiyah yang benar dan hakiki, serta persahabatan yang hakiki.
Sebab banyak orang mengikat
persaudaraan dengan orang lain, atau berkawan dan bersahabat dengan orang lain
disebabkan oleh kepentingan tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika
kepentinganya muncul. Namun, jika tidak ada kepentingan, (maka) ia tidak kenal
lagi, atau bahkan mencaci-makinya.
Seorang shadiq (sahabat), ialah
seorang yang sungguh-sungguh jujur terhadap sahabatnya dalam semua urusan
hidupnya dan tidak berbasa-basi. Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan
pada diri sahabatku, maka aku harus menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan
nasihat yang membuatnya lari dariku, atau menyebabkannya
tidak mau berkumpul lagi denganku. Misalnya, dengan nasihat yang berbentuk
caci-maki atau celaan. Tetapi haruslah dengan nasihat yang sungguh-sungguh,
nasihat yang ia butuhkan.
Jika aku lihat ia tidak taat
kepada Allah, atau suka membicarakan ulama, atau suka mencaci-maki seseorang,
atau ia tidak memiliki prinsip yang jelas dalam hidupnya, maka aku akan segera
menasihatinya, aku ajak duduk, aku ajak bicara dengan lemah lembut, dengan
menggunakan istilah-istilah yang bagus, dan dengan cara-cara yang indah,
sehingga kawan ini tidak rusak.
Ada kaidah agung yang termasuk
kaidah agama dalam berukhuwah. Demi Allah, jika kaidah ini tidak terwujud pada
diri kita masing-masing, niscaya kita akan memiliki cacat dalam menjalin tali
ukuwah. Yaitu, jika seseorang tidak berusaha mewujudkan dan tidak menimbang
dirinya berdasarkan petunjuk ukhuwah yang ada dalam hadits. Hadits ini
merupakan salah satu kaidah di antara kaidah agama. Yaitu sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأخِيْهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang
di antara kalian, sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya apa yang ia suka
jika sesuatu itu diperoleh dirinya”. [2]
Sayang sekali, kebanyakan orang
sekarang bersikap sebaliknya dari hadits itu. Ia menyukai untuk dirinya, apa
yang tidak ia sukai jika diperoleh orang lain. Ia pertama-tama menyukai jika
seseuatu itu ia peroleh, kemudian baru memikirkan orang lain. Ia tidak menyukai
kebaikan diperoleh oleh orang lain. Ia hanya menyukai jika kebaikan itu ia
peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.
Sebenarnya kita memiliki suri
tauladan yang baik pada para salafush-shalih rahimahullah, tentang bagaimana
persaudaraan mereka, bagaimana mereka menjalin persaudaraan, bagaimana mereka
mengutamakan orang lain, bagaimana mereka mempraktekkan perkataan-perkataan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang pada setiap atsar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salalm telah memberikan contoh nyata dalam berukhuwah, dalam
bermu’amalah, dan dalam segala hal yang menyangkut semua urusan hidup.
Demi Allah, tidak ada sesuatu
pun kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya kepada
kita. Tidaklah beliau meninggalkan kita, kecuali menjadikan kita berada pada
hujjah yang demikian jelas, malam harinya laksana siang harinya; tidak akan
menyimpang dari hujjah ini kecuali orang yang binasa.
Demikianlah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua urusannya, dalam masalah ekonomi,
masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar, ketika masuk, dalam masalah berpakaian,
dan dalam segala hal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan
kita kecuali telah mengajarkannya kepada kita. Dan sekarang, tidaklah kaum
Muslimin meninggalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kecuali akan dijadikan lemah oleh Allah, dan akan dikuasai oleh musuh.
Oleh sebab itu, saya anjurkan
kepada saudara-saudaraku supaya bersatu secara sungguh-sungguh dan menjalin
ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di dalamnya ada pertalian kokoh, ada saling
mengingatkan dengan sesungguh-sungguhnya, dan di dalamnya berisi orang-orang
yang senang jika saudaranya mendapatkan apa yang mereka sendiri senang untuk
mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup. Dalam suasana ini, hidup
akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan dunia-akhirat juga menjadi
sempurna.
Demikian pula, saudara-saudara,
berpegang teguh pada Sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
akan mewujudkan ukhuwah yang sesungguhnya. Jika Anda melihat seseorang yang
baik dan ia Ahlu Sunnah, maka hendaklah Anda segera jalin persaudaraan
dengannya. Jika Anda melihat seorang Ahlu Sunnah dan pengikut Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Anda harus akrabi dia.
Demi Allah, para penuntut ilmu
tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin banyak, kaum Muslimin tidak
dilemahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan para musuh tidak dijadikan
berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali karena kaum Muslimin sudah terlalu jauh
dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalian semua mengetahui, bahwa
amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat. Apakah
dua syarat itu?
Pertama : Ikhlas. Yaitu jika
amal perbuatan dilakukan secara murni untuk mencari wajah (keridhaan) Allah.
Tetapi apakah ini cukup?
Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!
Jika demikian, kapankah ikhlas dapat diterima?
Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!
Jika demikian, kapankah ikhlas dapat diterima?
Yaitu (yang Kedua, Pent.)
apabila amal perbuatan yang sudah dilakukan dengan ikhlas itu, dilakukan dengan
mengikuti Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau selaras dengan apa
yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah kenyataan
kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah kenyataan kita dewasa ini? Ya, amalan
ikhlas, akan tetapi menyelisihi ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Oleh sebab itu, Allah melemahkan kaum Muslimin dan menjadikan
musuh-musuh Islam berkuasa atas kaum Muslimin.
Lihatlah bermacam bid’ah,
khurafat dan ta’ashub (fanatisme golongan) merajalela. Bahkan banyak orang
dibikin menjauh dari pengikut Sunnah. Seseorang akan mengatakan “orang ini
keras, tidak umum, menentang arus … dan seterusnya”.
Ibnul-Qayyim rahimahullah
mempunyai ungkapan menakjubkan dalam masalah ini. Beliau rahimahullah
mengatakan bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat dan menghidupkannya (sekarang) lebih
utama daripada mengarahkan anak-anak panah ke leher musuh.
Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim
rahimahullah sampai mengatakan kalimat demikian!
Sekarang, orang-orang mulai
bermalas-malasan terhadap Sunnah. Bahkan mereka berbuat dengan berbagai amal
perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasululah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang
sekali, sebagian penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami
banyak persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering memilih
bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan berbasa-basi terhadap
seseorang.
Maka, demi Allah, wahai
saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk menerapkan Sunnah (ajaran)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, (di samping ikhlas), amal
perbuatan tidak akan diterima kecuali sesudah amal itu selaras dengan tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang tidak dapat dipuji agama
dan semua urusannya kecuali jika ia sudah menjadi pengikut Sunnah.
Karena itu, bersemangatlah
terhadap perkara-perkara Sunnah ini. Bersemangatlah untuk meningkatkan kekuatan
beragama secara hakiki di antara sesama kalian. Kalian janganlah saling
berseteru. Jika seorang penuntut ilmu melihat kesalahan pada diri saudaranya
(sesama Ahlus-Sunnah), jangan menyebabkan orang lain menjauh darinya, jangan
memusuhinya, dan jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah kesalahannya dengan
cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang baik. Sebab, inilah
ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; kata-kata yang baik. Kita
membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam merupakan agama yang menganjurkan
tata pergaulan yang baik.
Setiap kita mungkin memiliki
kepedulian terhadap urusan agama, namun terkadang tidak memiliki cara bergaul
yang baik. Cara bergaul yang baik sangat penting dalam kehidupan ini.
Dengannya, kita bisa mengajak orang lain. Dan dengannya, kita bisa mendapat
pahala.
Apa ruginya jika engkau
tersenyum kepada saudaramu? Salah seorang sahabat pernah mengatakan: “Saya
tidak pernah melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali
dalam keadaan tersenyum”.
Tersenyum itu berpahala, wahai
saudaraku. Perkataan baik yang keluar dari lisanmu, ada pahalanya. Tidak masuk
akal jika seseorang, terutama penuntut ilmu, ternyata cara bergaulnya jelek,
kata-katanya keras dan kotor. Padahal ia seorang penuntut ilmu yang dikenal.
Maka harus baik dalam tata pergaulan, sebagai salah satu wujud dari penerapan
terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kalian harus
melaksanakan Sunnah.
Sunnah-sunnah (ajaran-ajaran)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini harus diperhatikan dan dihormati. Memang
tidak selayaknya menfitnah manusia dengan persoalan-persoalan ini, tetapi
(masing-masing penuntut ilmu harus berfikir bahwa) saya harus bersemangat
mengajarkan Sunnah kepada orang lain.
Jagalah ukhuwah yang hakiki
oleh kalian. Ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip), namimah
(adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita bohong.
Demikian pula hendaklah seorang penuntut ilmu, bila mendengar fatwa tentang
seorang Syaikh, bila mendengar tentang suatu hal, hendaklah mencari kejelasan dan
kepastiannya. Tidak menelan berita mentah-mentah.
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang berdosa
bila ia menceitakan setiap apa yang ia dengar”.[3]
Sebagian orang, setiap
mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu begini, begitu, melakukan
ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan sifat penuntut ilmu.
Pertama kali, kewajiban seorang
Muslim atau penuntut ilmu ialah husnuzhan (berbaik sangka) terhadap para
ulamanya dan terhadap kawan-kawannya. Selamanya, ia (mesti) berbaik sangka
terhadap mereka. Tidak berburuk sangka kepada orang lain. Tidak melancarkan
tuduhan kepada orang lain, sebab ia tidak mengetahui isi hati mereka. Bila kita
melihat seorang saudara berjalan bersama pelaku bid’ah, jangan langsung
menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati, atau menghendaki sesuatu
darinya, atau ingin melakukan pendekatan kepadanya untuk suatu urusan. Jika
kita langsung menghukuminya bahwa “orang ini serupa, sama-sama ahli bid’ah”,
maka ini tidak benar. Apakah kita mengetahui hatinya?
Seperti sahabat yang membunuh
orang yang mengucapkan La ilaha Illallah tatkala orang yang dibunuhnya terdesak
dalam peperangan. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakannya,
mengapa ia bunuh orang yang mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah?
Ia menjawab,”Sebab orang ini
hanya bermuslihat untuk menyelamatkan diri,” maka Nabi n menjawab: “Apakah
engkau membelah dadanya?”.
Demkianlah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menegur. Padahal orang yang dibunuh ini awalnya jelas-jelas
musuh yang kafir. Sedangkan ini adalah muslim yang shalat, puasa dan melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Tiba-tiba engkau langsung menuduhnya dengan tuduhan semacam ini.
Jelaslah, itu bukan pekerjaan yang semestinya bagi penuntut ilmu. Seorang
penuntut ilmu hendaklah memiliki akhlak mulia, memiliki cara bergaul yang baik,
memberi nasihat yang baik dan berpegang kepada Sunnah secara hakiki. Ia tidak
layak terlalu keras seraya mengatakan “sayalah satu-satunya pengikut Sunnah,
orang lain bukan pengikut Sunnah”.
Jadi, semestinya ia mengajak
orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang berpegang dengan teguh terhadap
Sunnah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak meninggalkan kita kecuali beliau n telah mengajarkan segala
sesuatu kepada kita, termasuk tata cara bergaul dengan orang lain dan melakukan
pergaulan dengan orang kafir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
kepada kita bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan pengikut
bid’ah, serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup kita.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan kepada kita kapan harus berjihad, kapan kita boleh
mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan seseorang menjadi kafir. Misalnya
engkau melihat seseorang tidak shalat di masjid. Melihat ini, ada orang yang
langsung menghukumi bahwa ia tidak shalat, berarti kafir. Tentu jika sudah
jelas berdasarkan bukti bahwa ia meninggalkan shalat, maka meninggalkan shalat
adalah kufur. Tetapi, apa engkau boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu
tidak, sebab siapa tahu ia shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia
baru masuk Islam, atau alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan masalah
seperti ini.
Seorang penuntut ilmu harus
menggali ilmu secara mengakar, menggali masalah ‘aqidah, membaca kitab-kitab
‘aqidah dengan benar. Kalian telah mengetahui bahwa jalan pertama menuju surga
ialah tauhid. Demi Allah, seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan tauhid yang bersih. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berada di Mekkah selama 13 tahun mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus
belajar ‘aqidah yang benar.
Ada sebagian orang dari
penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang definisi iman, ia tidak tahu.
Ditanya tentang makna iman menurut Murji`ah, ia tidak tahu. Ia tidak memiliki
modal ilmu. Ditanya tentang kaidah takfir (hukum mengafirkan orang), ia tidak
tahu. Tentang pedoman jihad, ia tidak tahu. Apa arti wala` wal-bara`, ia
mengerti tidak tahu. Apa perbedaan antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak paham.
Padahal ia berdakwah mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus
menggali ilmu secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan
persoalan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah yang menyebabkan
pelakunya menjadi kafir.
Ada orang yang menghukumi kafir
kepada setiap orang, terutama penguasa yang berhukum dengan selain apa yang
diturunkan Allah. Ini tidak benar!
Saya termasuk salah satu dari
anggota komisi yang bertugas memberikan nasihat kepada para pemuda pelaku
penyimpangan. Pemuda yang memiliki pola pikir menyimpang, yang melakukan
peledakan di tempat-tempat pemukiman. Para penjahat yang menghabisi diri
sendiri dan menghabisi orang lain. Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal ilmu
yang cukup. Mereka hanya memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat
terhadap banyak hal menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar
ilmiah, kosong!.
Demi Allah, jika mereka
memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka tidak akan melakukan
tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata mereka memahami wala` wal-bara`
dan bisa membedakan antara muwalah (setia kawan dan kasih sayang) dengan
mu’âmalah (tata pergaulan yang baik), tentu mereka tidak akan melakukan
tindakan-tindakan itu.
Saudaraku, andaikata penguasa
betul-betul kafir, selama engkau berada di dalam wilayah kekuasaannya, maka ia
memiliki hak yang wajib engkau laksanakan. Apalagi jika penguasa itu seorang
muslim.
Orang tidak bisa membedakan
antara muwalah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’amalah (tata pergaulan
yang baik). Sehingga sekedar engkau bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan
orang kafir, egkau akan dianggap telah mencintai dan bersetia kawan dengan
orang kafir tersebut.
Wahai saudaraku, padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan makna muwalah kepada
kita. Al-Qur`an juga telah menjelaskannya kepada kita. Sementara itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bermu’amalah (melakukan
pergaulan) dengan orang-orang kafir di Madinah. Beliau –misalnya- mempergauli
orang Yahudi, ziarah ke tempat seorang Yahudi yang sedang sakit, sehingga
dengan sebab itu orang Yahudi tersebut masuk Islam.
Lalu bagaimanakah dengan kita
(kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita mempersulit diri kita sendiri dan
mempersulit orang lain? Mengapa banyak di antara kita (kaum Muslimin) yang
menjadikan orang lain antipati terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras
yang tidak bedasarkan petunjuk dari Allah? Mengapa demikian? Terutama yang
berkaitan dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala` wal-bara`, mengapa
tidak mengikuti manhaj Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa salla
Agen Bolavita Merupakan Agen Terbesar yang Menyediakan Semua Game Online Dengan Semua Jenis Game Populer yang anda sukai :) .. Bolavita Juga Memiliki Banyak Promo Bonus Setiap Harinya.. :) Game Online Populer :
ReplyDelete• Bola
• Sabung Ayam • Togel Online • Tangkas • Casino
• Tembak Ikan
• Poker
• SLOT (Play1628)
• WM Casino
Minimal Deposit WD Hanya Rp.50.000,- ( Support Semua Bank Indonesia)
Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita
BBM : BOLAVITA / D8C363CA